Senin, 04 Oktober 2010

Homoseksual bukanlah Takdir (?)

angan pungkiri fakta ini! Setiap orang, entah itu laki-laki ataupun perempuan pastilah pernah mengagumi seseorang yang satu gender dengannya. Seorang perempuan misalnya, mengagumi wanita lain yang cantik dan seksi. Atau seorang laki-laki yang kagum melihat laki-laki yang tampan dan boyd perfect. Ups… ternyata… menurut psikolog Mustika Tarigan, pikiran ini membuktikan bahwa setiap orang memiliki potensi homoseksual di dalam dirinya.

Eits… jangan dahulu menjustifikasi macam-macam! Penelitian ilmiah justru membuktikan bahwa sesungguhnya setiap individu mempunyai potensi menjadi homoseksual. Hanya saja tingkatan kecenderungannya berbeda dan karena kecilnya kecenderungan ini sehingga tidak dirasakan. Lain halnya jika kecenderungan itu tidak sebatas mengagumi. Jika seseorang sampai tertarik dan terangsang terhadap sesama jenis setelah mengagumi, maka orang tersebut dapat dikategorikan sebagai homoseksual.

Kompas Minggu (24/8) menulis bahwa pribadi homoseksual ditandai dengan orientasi psikoseksual yang bersamaan dengan kondisi seks-biologis. Artinya kepekaan erotik seksualnya tertuju kepada pasangan sesama jenis sehingga kepuasan erotik seksualnya pun baru bisa diperoleh bila mereka melakukan relasi seksual degan pasangan sejenis. Bila kasus ini terjadi pada laki-laki disebut homoseksual (gay) dan pada perempuan disebut lesbian.

Penyebabnya adalah paduan dari faktor hormonal di satu sisi dan faktor lingkungan di sisi lain. Seperti pola asuh, pergaulan, dan pengalaman erotik terdahulu yang mengesankan bagi dirinya.

Mengacu kepada penyebab utamanya, homoseksual dikelompokkan menjadi homoseksual eksklusif dan homoseksual fluktuatif. Homoseksual eksklusif adalah homoseksual yang benar-benar tidak mampu mengendalikan ketertarikan erotik-seksual terhadap sesama jenis kelamin sedangkan homoseksual fluktuatif adalah homoseksual yang ketertarikan erotis-seksual terhadap sesama jenisnya terjadi karena keterbatasan kehadiran lawan jenisnya. Kasus seperti ini misalnya terjadi pada tahanan Lapas.

Ungkapan seksual dan cinta erotis sesama telah ada dalam kebanyakan budaya dan telah dikenal sejak lama. Tidak yang tahu pasti sejak kapan homoseksual sudah ada. Namun dalam pengetahuan agama, homoseksual sudah ada sejak zaman Sodom dan Gomora. Di abad ke-19 tindakan dan hubungan ini dilihat sebagai oreientasi seksual yang bersifat stabil. Kata homoseksual sendiri tercatat dalam sejarah dipergunakan pertama sekali oleh Karl-Maria Kertbeny. Kemudian dipopulerkan Richard Freiherr von Krafft-Ebing dalam bukunya Psychopathia Sexualis.

Kajian ilmiah menunjukkan beberapa penyebab seseorang menjadi homo seksual. Penyebab pertama adalah faktor genetik. Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan kromosom yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom x dari ayah. Sedangkan pria mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom y dari ayah. Kromosom y adalah penentu seks pria.

Sebanyak apapun kromosom x terdapat, jika terdapat kromosom y, orang tersebut tetap berkelamin pria. Seperti terjadi pada pria penderita sindrom Klinefelter, memiliki tiga kromosom seks, xxy. Kemungkinan terjadinya 1:700 kelahiran bayi. Pada orang dengan kasus seperti ini, meskipun berkelamin pria, ia mengalami kelainan pada alat kelaminnya.

Penyebab kedua adalah ketidakseimbangan hormon. Seorang pria sealin memiliki hormon testoteron juga mempunyai hormon yang dimiliki wanita yaitu estrogen dan progesteron. Hanya saja kadar hormon wanita tersebut sedikit. Nah… bila pada seorang pria kadar hormon esterogen dan progesteronnya cukup tinggi, maka ini dapat menjadi penyebab perkembangan seksual pria mendekati karakteristik wanita.

Faktor berikutnya adalah struktur otak. Terdapat perbedaan pada struktur otak pada straight females, straight males, gay females, dan gay males. Otak bagian kiri dan kanan straight males sangat jelas terpisah dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Straight females, otak antara bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Pada gay males, struktur otaknya sama dengan straight females. Struktur otak gay females sama dengan straight males. Gay females ini biasa disebut lesbian.

Kelainan susunan syaraf juga menjadi penyebab homoseksual. Kelainan susunan syaraf otak dapat mempengaruhi prilaku seks heteroseksual maupun homoseksual. Kelainan susunan syaraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar tengkorak.

Prof. DR. Wimpie Pangkahila (Pakar Andrologi dan Seksologi) menambahkan bahwa selain faktor biologis (kelainan otak dan genetik) ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan seksual seseorang. Faktor psikodinamik, yaitu adanya gangguan perkembangan psikseksual pada masa anak-anak, faktor sosiokultural, yaitu adanya adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseksual dengan alasan yang tidak benar, dan faktor lingkungan yang memungkinkan dan mendorong hubungan para pelaku homoseksual menjadi erat.

Faktor sosiokultural ini seperti terdapat pada kesenian Warok di Jawa Timur. Lingkungan Warok Ponorogo di Jawa Timur dapat membentuk seseorang menjadi seorang homoseksual. Pasalnya Warok tidak boleh berhubungan intim dengan wanita karena menyebabkan kesaktiannya luntur. Maka untuk menyalurkannya dipeliharalah seorang atau beberapa anak laki-laki yang mereka sebut gemblak.

Mustika Tarigan juga mengaminkan, bahwa secara psikologis, faktor lingkungan, sosio budaya, pengalaman masa lalu, trauma atau sakit hati dapat memicu seseorang menjadi homoseksual. Menurutnya secara medis homoseksual karena faktor biologis dan psikodinamik lebih sukar disembuhkan dibanding homoseksual karena faktor sosiokultural, lingkungan, dan psikologis.

Walau demikian, apapun faktor penyebabnya, bukan berarti homoseksual tidak dapat disembuhkan. Seperti kesaksian Samuel Mulya, pengasuh rubrik Parodi pada harian Kompas Minggu. Ia adalah bekas homoseksual karena faktor biologi, bahkan sampai sekarang, ia belum juga mampu mencintai wanita. Tapi bukan berarti homoseksual tidak dapat disembuhkan. Ia tidak lagi tertarik kepada sesama jenis. Menjadi homoseksual adalah suatu pilihan bukanlah takdir. Jenny, seorang homoseksual mengaminkannya. Ia menceritakan, menjadi homoseksual adalah pilihan yang telah ditimbangnya secara matang sebelum membasahkan diri dengan dunia ini. “Bukan takdir, tapi pilihan hidup dan keputusan,” kata Jenny (25). Kecenderungan besar manusia kembali ke kehidupan normal adalah kekuatan terpenting untuk sembuh. “Yang terpenting adalah kemauan untuk sembuh,” kata Psikolog, Mustika Tarigan .

Kaum homoseksual dari masa ke masa akan selalu ada, kasat mata, dan setiap orang pun berpotensi menjadi bagian mereka. Pilihan tetap di tangan kita, memilih tetap menjadi normal atau menyerah pada potensi tersebut.

It’s Complicated

Beberapa dekade belakangan ini, keberadaan kaum homoseksual secara signifikan patut diperhitungkan. Survei di Amerika Serikat saat pemilu 2004 dilangsungkan menjukkan bahwa 4% dari seluruh pemilih pria menyatakan dirinya seorang gay. Di Kanada, berdasarkan statistik Kanada, di antara warga Kanada yang berumur 18 sampai 59 tahun, terdapat 1% homoseksual dan 0,7% biseksual.

Sekarang, di mata para ilmuwan keberadaan kaum homoseksual bukan lagi dianggap sebagai sebuah penyimpangan seksual. Ini bermula dari tindakan American Psycological Association (APA) yang pada tahun 1970-an menghapus kriteria deviasi seksual terhadap homoseksual dalam jurnal ilmiah terbitan mereka. Artinya kaum homoseksual dipandang normal dan sebagai sebuah kewajaran. Berhubungan seks dengan sesama jenis tidak lagi tabu atau sebuah aib. Sejak saat itu homoseksual dipandang sebagai fenomena yang wajar. Para peneliti, calon dokter, psikolog, dan psikiater dididik dengan pemahaman bahwa homoseks adalah normal, senormal perkawinan antara pria dan wanita.

Harus diakui, pandangan ini tak sepenuhnya melekat pada masyarakat. Di kalangan para peneliti, akademisi, aktivis, homoseks sudah diakui keberadaannya. Tidak demikian halnya dengan masyarakat kebanyakan. Homoseks tetaplah sebuah penyimpangan, dosa, kutukan, dan menjijikkan. Bona misalnya, desain grafis lepas ini mengaku enggan bersahabat baik dengan homoseksual. “Geli ah, lagipula aku takut ketularan. Kata orang sih, homoseksual itu menular. Kalau ber-say halo aja sih ga papa,” kata pria berambut cepak ini.

“Aneh aja pacaran dan berinteraksi seksual sama cowok, Errrgh…” komentar Dede (25). Meskipun merasa aneh, Dede dan Bona menganggap itu adalah hak dan pilihan seseorang. “Setiap orang kan boleh milih, tapi jaga nularin ke orang lain dong,” kata Bona lagi. “Harusnya mereka bergaul sebagai homoseksual hanya pada komunitasnya saja, kalau di masyarakat, ya… dia bersikap sebagai orang kebanyakanlah, biar bisa diterima,” tutur Dede.

Benny, seorang homoseksual tak sepenuhnya membenarkan pendapat Dede. Pria karyawan sebuah bank swasta di Medan ini mengaku sudah enam tahun menjadi homoseksual. Ia mengaku tidak mau eksklusif. “Saya justru tidak mau gabung dengan komunitas gay. Saya maunya hidup normal di masyarakat. Saya kan normal, jadi ngapain membatasi diri, kalau di masyarakat ya saya bersikap biasa saja” cerita Benny. Justru dengan membatasi lingkungan pergaulan inilah kaum homoseksual semakin tidak mendapat tempat di masyarakat.

Menurut Benny, orientasi seksualnya saja yang berbeda dengan orang kebanyakan, selebihnya ia adalah warga masyarakat yang punya hak sama untuk hidup, bekerja, bergaul, dan berkarya. “Saya juga tidak memaksakan seseorang jadi gay. Kalau cari pasangan gay, saya pasti pilih yang gay juga. Lagipula saya penganut paham monogami,”sambungnya.

Permasalahan homoseksual memang permasalahan sangat kompleks. Mereka ada, mengalami tekanan, di tolak lingkungan, rentan terhadap penyakit seksual, dan harus selalu siap menghadapi bom waktu yang pasti meledak. Benny megaku beryukur berada di lingkungan yang menerima dirinya apa adanya. Teman-teman baiknya tidak mempermasalahkan oreintasi seksualnya, pun rekan-rekan sekantornya. Mereka tahu, mereka lihat, dan mereka dapat menerima. Walau begitu Benny sudah siap untuk menghadapi bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak, entah akan menghempas sejauh mana dari kehidupan keluarganya.

Orang tua dan keluarga pencinta warna putih ini tidak mengetahui aktivitas seksual yang sudah enam tahun dilakoninya ini. “Enggak tahu reaksi mereka nantinya seperti apa, tapi saya sudah siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun. Tidak diakui anak misalnya,” tawa Benny ironis. “Saya juga tidak tahu bagaimana ke depannya, saya jalani saja dulu,” pria jangkung ini memastikan tekadnya.

Banyak orang memang masih belum menerima kehadiran kaum homoseksual. Ketidakberterimaan masyarakat ini, menurut Psikolog, Mustika Tarigan, justru menyebabkan kaum homoseksual semakin tertekan dan terpuruk. Apalagi kalau sampai dipojokkan. Karena takut dihindari, tak sedikit yang menutupi identitas diri, tidak berani menujukkan orientasi seks yang berbeda tersebut. Mereka justru menikah dengan lawan jenis. Inilah yang lebih berbahaya. “Akan ada korban. Saran saya untuk para kaum gay dan lesbian, jangan lakukan itu! Selesaikan dulu masalah Anda kalau Anda anggap itu masalah, kalau tidak menikahlah dengan pasangan homoseksual Anda,” tegas Mustika Tarigan. Lain halnya di kota besar, mereka lebih berani mengakui “kehomoseksualannya”.

Psikolog alumnus UGM ini menyarankan, agar dapat diterima masyarakat, para kaum homoseksual harus berkarya. Menunjukkan bahwa mereka berprestasi dan berguna bagi masyarakat. Sehingga pikiran masyarakat tidak terfokus kepada orientasi seksual mereka tetapi kepada prestasi-prestasi dan tindakan kemanusiaan yang mereka buat.

Aku Telah Memilih

Seorang homoseksual rentan terhadap berbagai penyakit seksual. Safe sex menjadi tuntutan. Tetapi Benny sudah memilih. Waktu usianya menginjak 20, ia sudah memutuskan. Keputusan ini bukan tanpa alasan dan berbagai pertimbangan. Bertahun-tahun, ia berusaha mencari tahu, mengumpulkan informasi, menimbang, sampai merasa cukup matang dan yakin dengan keputusan yang ia buat.

Sebenarnya cerita bermula dari belasan tahun silam. Kenangan masa kecil yang mencuat kembali ke ingatan. Benny tidak tahu pasti apa penyebab kecenderungan oreintasi seksualnya yang berbeda dengan orang kebanyakan. Yang ia tahu, sejak kecil ia lebih tertarik kepada sesama jenis. Mengaku tidak pernah mengalami kekerasan seksual sejak kecil atau trauma terhadap lawan jenis, Benny kecil mengenang pengalaman masa kecilnya.

Ia ingat benar, saat masih balita, ia lebih mengagumi pria tampan ketimbang kecantikan wanita. Kebetulan jarak usia penggemar fotografi ini dengan kakak perempuannya sangat jauh, delapan tahun. Ketika teman-teman remaja kakaknya ini bermain ke rumah, diam-diam Benny kecil mengagumi teman-teman lelaki kakaknya. “Waktu itu aku belum ngertilah, aku pikir biasa aja” katanya.

Tekanan sosial, tanda-tanda sosial pun membatasi pikiran tersebut. Masyarakat bilang itu salah. Agama juga tidak melegalkan. Tekanan sosial dan kengerian terhadap social punishment membuang pikiran ini jauh-jauh dari Benny. Hingga saat kuliah di Medan, jauh dari orang tua, tak ada lagi tekanan sosial, basic insting itu muncul kembali. Demikian ia menyebutnya.

Keberanian mengeksplorasi pun muncul. Benny juga merasa ia sudah siap mengambil keputusan. Usianya telah cukup dewasa membuat keputusan sendiri, 20 tahun. Tekadnya waktu itu, aku harus cari tahu! Berbekal rasa ingin tahu itu, ia mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Searching di internet, menemukan data, komunitas gay di internet, mencoba chatting. Hasilnya? Benny lega, ternyata ia tidak sendiri.

Lalu, satu kejadian membawanya ke kejadian berikutnya. Chatting, kenalan, lalu janjian kopi darat. Beberapa kali seperti itu. Tekanan seksual dari dalam diri membuat Benny memutuskan, “Harus coba!” Misi selanjutnya adalah menemukan orang yang tepat untuk pertama sekali. Hampir belasan kali kopi darat, Benny belum menemukan orang yang tepat. Cara menemukan orang yang tersebut pun sangat unik. “Aku pake insting,” kata Benny.

Hingga sekali waktu, ia bertemu dengan seorang pria, seorang bapak 5 anak, berusia 42 tahun lewat chatting. Orangnya tampan, klimis, dan mapan. Dorongan hormon yang sedang mengalir deras membawa Benny ke pertemuan dengan pria asal Jakarta ini. Pertemuan ini membawa ke pertemuan kedua. Tapi Benny belum berani, ia menetapkan standar, no commitment dan no anal sex.

Dari sinilah pengalaman seksual Benny sebagai homoseksual berlanjut. Ia tidak ragu lagi. Pria berkulit putih ini sudah tidur dengan belasan pasangan homoseksualnya. Selama menjalani Benny tetap menetapkan aturan, tanpa komitmen dan one sex. Berkali-kali menjalin hubungan Benny akhirnya sampai pada satu kesadaran, ia telah menjerumuskan diri para pergaulan free sex yang membuatnya sangat rentan berbagai penyakit menular seksual.

Bagaimana tidak, 14 kali lebih berganti pasangan, ia menarik sebuah korelasi hubungan sesama homoseksual. Mereka berada dalam lingkaran terbatas. “Orang-orangnya di satu kota, itu-itu saja,” kata Benny. “Dapat dipastikan orang yang pernah tidur sama aku itu juga pernah tidur dengan pasangan tidurku sebelumnya dan begitu seterusnya,” cerita Benny ngeri. Kalau mau ditarik garis hubungan seperti itu, Benny telah berhubungan dengan lebih dari 100 homoseksual. “Aku jadi ngeri dan aku pikir aku harus safe sex,”ujar Benny.

Sejak saat itu, Benny memutar arah kemudi hubungan erotis-seksualnya. Ia mulai menerapkan komitmen, monogami, safe sex, dan tidak bergabung dengan komunitas gay. Ia ingin hidup normal di tengah-tangah masyarakat meskipun sebagai gay. Menjadi gay adalah pilihan hidupnya saat ini. Sejak awal ia telah memutuskan dengan penuh pertimbangan. Sampai saat ini belum ada keinginan mengubah oreintasi seksualnya. Menurutnya ia tidak menyimpang. “Ini hanya masalah pilihan. Dan aku telah memilih,” kata Benny mengakhiri perbincangan dengan tersenyum.(Eka Rehulin)

0 comments:

Posting Komentar